TIDAK ADA PANGKAT
DALAM DAKWAH
Rasulullah
memutuskan berdakwah kepada Bani Amir bin Sha’sh’ah. Mengajak mereka masuk
Islam dan bersyahadat. Seorang bernama Bahirah bin Faras berkata “ Demi Allah
jika aku mengambil pemuda ini dari Quraisy, maka dia akan diperebutkan orang
Arab”.
“Bagaimana
jika kami masuk Islam, apakah kami mendapat bagian jika menang perang?” tanya
dirinya kepada Rasulullah.
“Bagian
itu hak Allah, dia berikan kepada siapa yang dikehendaki” jawab Rasulullah.
“Apakah
kami akan menyerahkan leher kami kepada orang Arab, padahal kami telah
membantumu. Kami tidak butuh dirimu” tolaknya kepada Islam yang dibawa
Rasulullah.
Dalam kesempatan
lain, sahabat tercinta Khalid bin Walid diminta turun dari jabatannya sebagai
panglima perang. Seorang panglima perang yang dikenal pandai memimpin pasukan
berkuda ini, diminta menyerahkan tahta kepemimpinannya. Apa jawaban Khalid?
Tegas
beliau mengatakan “ ya, saya siap terima perintah Khalifah. Tapi jangan dulu
sebarkan pengumuman ini. Tunggu selesai perang, dan secara resmi saya serahkan
tampuk kepemimpinan ini. “
Subhanallah
itulah sikap seorang jundullah. Nabi Muhammad SAW dan Khalid mengajarkan bahwa
tak ada pangkat dalam dakwah. Semua diserahkan sebagai amanah Allah SWT. Ketika
tiba waktunya amanah diambil, ikhlas semua diserahkan kepada keputusan jamaah
dan Allah SWT. Sebab segala urusan adalah kepunyaan Allah, kita hanya
melaksanakan perintah-Nya. Seorang sahabat mulia, Yahya Bin Muadz berkata “
Tidak akan beruntung siapa yang tercium darinya aroma ambisi kepemimpinan”.
Rasulullah
tidak pernah menjanjikan keindahan duniawi baik jabatan, kedudukan dan atribut
duniawi lainnya. Sekali – kali tidak, Rasulullah tidak melarang kita menjadi
pemimpin. Tetapi jangan sampai pangkat dan jabatan melenakan kita. Kesempatan
menduduki posisi sebuah lembaga atau organisasi adalah pemberian Allah. Sewaktu
– waktu siap dicabut jika Allah mengingingkannya. Untuk itu, kita harus siap
dan legowo jika amanah itu dicabut dan diberikan kepada yang lain.
Pangkat Dakwah???
Bagaimanapun
indikator kesuksesan hidup adalah keseimbangan (tawazun) kehidupan dunia dan
akhirat. Amanah atau jabatan hanya sebuah proses yang harus dijalankan tanpa
harus meminta. Jadikan dunia di tanganmu, jangan letakkan di hatimu. Begitu
pesan agung dari Rasulullah SAW. Sebuah pemaknaan mendalam agar tidak
menjadikan harta, tahta dan pangkat sebagai Tuhan sehingga melupakan Tuhan yang
sebenarnya yaitu Allah SWT.
Rasulullah
memuji sikap seorang kader dakwah yang siap ditempatkan dimana saja. Tidak
mengemis jabatan melainkan siap ketika diberikan amanah kepemimpinan. Sebab persoalan amanah adalah peluang
dan kompetensi. Dimensi ini penting, sebab kesempatan memimpin sesungguhnya
adalah peluang menebarkan kebaikan. Sedangkan, kompetensi adalah harga wajib,
dimana tren yang berkembang adalah pemimpin yang berkompeten. Apalagi perlu
diingat, Al – Quran menekankan muslim yang kreatif dan menguasai bidangnya
sebab tradisi mencontek dan plagiasi tidak
akan mendapat tempat terhormat di setiap parade zamannya.
Kasus di atas misalnya, mengapa Allah
memberikan amanah memimpin pasukan berkuda kepada Khalid? Jawabannya jelas,
Khalid sejak masa jahiliyah dikenal sebagai pemimpin pasukan berkuda yang
ulung. Prestasi perangnya ini yang membuat Rasulullah SAW mempercayakan pasukan
berkuda umat islam kepada Khalid. Kasus
serupa dapat ditemui pada Salman Al Farisi dalam perang Khandaq. Kecerdikan
beliau pada masa lalunya dimana kalangan Persia dikenal sebagai ahli strategi
perang kota dipakainya ketika resmi bergelar muslim. Jadilah kaum kafir
kesulitan menembus barisan pertahanan kaum muslimin.
Persoalan peluang dan kesempatan itu
sayangnya bersifat terbatas baik dari kebutuhan SDM (sumber daya manusia) dan
umur gerakan. Ketika sudah waktunya regenerasi, sudah sepantasnya Allah SWT
mengangkat amanah yang sudah diberikan kepada kita. Sebab itu, jangan malu
mengakui dan menyerahkan amanah kepemimpinan ketika dirasakan kita sudah tidak
mampu melaksanakannya.
Dan keinginan untuk tidak memburu
jabatan dalam dakwah banyak digoreskan dalam Sirah Nabawiyah. Rasulullah SAW bersabda;
“ Alangkah bagusnya seorang hamba yang memegang kendali kudanya di
jalan Allah, rambutnya kusut, kakinya berdebu. Jika mendapat tugas berjaga ia
berjaga. Jika tugasnya di bagian logistik, ia di logistik. jika meminta izin,
tidak diizinkan. Dan jika memberi rekomendasi, rekomendasinya tidak berlaku.”
Ibnul Jauzi berkata,
artinya Ia tidak disebut-sebut, tidak menginginkan ketinggian. Ibnu Hajar
berkata, ‘hadis ini memuat anjuran untuk membuang ambisi kepemimpinan dan
popularitas, serta keutamaan ketidaktenaran dan tawadhu’.
Tipe orang /da’i
seperti itulah yang membuat suksesnya dakwah. Adapun para pemuja ambisi
kepemimpinan, jabatan dan ketenaran, merekalah yang bakal menjadi batu-batu
sandungan terhadap suksesnya harakah islamiyah.
Proses kematangan kompetensi
menjadi sebab amanah harus dijaga dengan baik. Ketika itu gagal dilaksanakan,
jadilah jamaah dakwah tercerai berai. Seperti yang dikisahkan dalam Perang
Uhud, akibat perebutan ghahinamh (harta rampasan perang) pasukan pemanah meninggalkan amanahnya. Jika mau
diistilahkan pangkat, maka persoalan ghanimah menjadi pangkat yang dikejar sehingga membuka
celah pasukan musuh menembus barikade kaum muslimin.
Maka, ketika kita sekarang masih
disibukkan dalam menyandang amanah sudah seharusnya kita merefleksikan diri
atas firman Allah SWT :
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami
telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh.” (QS. Al Ahzab: 72)
Dalam ayat ini mengandung penjelasan
tentang beratnya amanah dan beban yang harus ditanggung oleh manusia, dimana
langit, bumi dan gunung sebagai makhluk Allah yang perkasa dan kuat merasa
lemah dan enggan untuk memikul amanah itu, takut dan khawatir jikalau tidak
sanggup menunaikannya. Lantas mengapa kita berebutan
amanah dakwah dan menganggap amanah sebagai pangkat dalam dakwah?
Inggar Saputra
Alhamdulillah selesai di Rumah Inspirasi, 30
April 2011, 16.08
Note : sebagian tulisan diambil buku ‘Rambu-rambu
tarbiyah’ karya Abdul Hamid Jasim Al-Bilaly dan blog Rijaluliman.blogspot.com